seseorang, partai atau jamaah yang terjerembab ke dalam kubangan lumpur demokrasi, maka jerat-jerat aturan perundangan akan mengikatnya. Dia harus tunduk dengan segala perundangan yang ada walau perundangan tersebut menyelisihi syariat.
Peraturan yang mengharuskan setiap partai mengajukan calon legislatif dengan komposisi (keterwakilan) 30% harus wanita, tentu bukan semata aturan untuk partai peserta pemilu. Peraturan ini harus dilihat pula sebagai bentuk kemenangan para pejuang emansipasi wanita.
Sedangkan agenda tersembunyi dari program emansipasi yaitu merobek hijab muslimah dan mengeluarkan kaum muslimah dari tradisi Islam. Bila kaummuslimah sudah duduk di kursi legislatif, maka koyaklah hijab mereka.Mereka akan bercampur dengan laki-laki yang bukan mahram, mendedahkan aurat, bebas berpandangan antar lawan jenis dan keluar rumah dengan sebab yang bukan darurat.
Tak cuma itu, akibat mengikuti sistem demokrasi, maka saat kampanye berlangsung, para wanita turut membaur di antara peserta kampanye laki-laki. Di manakah letak pengamalan terhadap syariat?
Padahal Allah telah berfirman:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhiasdan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu.” (Al-Ahzab: 33)
Allah berfirman:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya’.” (An-Nur: 31)
Pemilihan terhadap wanita untuk menduduki jabatan yang memiliki tanggung jawab dalam kepemimpinanumat, masuk dalam kategori hadits Abu Bakrah
:لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً“
Tidak akan beruntung satu kaum (bangsa) yang menyerahkan kepemimpinannya kepada seorang wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 4425)
Apa yang dilakukan partai-partai “Islam” kala Megawati dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) maju mencalonkan diri menjadi Presiden? Partai-partai “Islam” nyaring menyuarakan penentangannya. Menjelang Pemilu 1999 kala itu diwarnai persaingan antara kalangan Islam dengan nasionalis sekuler.
Partai-partai “Islam” berupaya menjegal Megawati untuk duduk di kursi RI-1. Mereka menggunakan banyak cara, termasuk mencari justifikasi (pembenaran) dari agama bahwa Islam melarang wanita menjadi kepala negara.Setelah melebur dalam ‘poros tengah’,partai-partai “Islam” mengusung nama Gus Dur untuk dicalonkan menjadi Presiden. Upaya ‘poros tengah’ berhasil.
Gus Dur menduduki kursi presiden. Namun, kala kinerja Gus Dur morat-marit, ‘poros tengah’ yang didukung partai-partai “Islam” menarik dukungannya kepada Gus Dur. Akhirnya, Gus Dur makzul, lengser dari kursi presiden. Penggantinya adalah Megawati. Posisi Megawati menguat karena mendapat dukungan partai-partai “Islam”.Dulu, partai-partai “Islam” sekuat tenaga menjegal Megawati jadi presiden, tapi setelah itu berbalik mendukungnya. Dalil agama yang melarang wanita jadi kepala negara pun sirna. Tak terdengar lagi gaungnya. Nyata, pernyataan boleh tidaknya wanita jadi kepala negara hanya retorika politik. Para politisi, termasuk dari partai-partai “Islam”, telah melakukan politisasi agama guna memperoleh dukungan kalangan Islam. Agama akan dijunjung sedemikian rupa manakala menguntungkan para politisi atau partai. Namun ketika agama tidak bisa atau menghambat perolehan suara atau kedudukan partai dan politisi, maka agama itu pun dicampakkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar