DALIL SAMI’NA WA ATHA’NA, WALAU TIDAK TAHU HIKMAHNYA
Kami Telah Mendengar Hukum Tersebut dan Kami akan Taati
Tidak ada pilihan lain bagi seorang hamba yang beriman kepada Allah, kecuali menaati dan menerima dengan sepenuh hati, SETIAP ketentuan-Nya. Karena orang yang beriman kepada Allah-lah yang senantiasa taat dan tunduk kepada hukum agama. Allah ﷻ berfirman:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Hanya ucapan orang-orang beriman, yaitu ketika mereka diajak menaati Allah dan Rasul-Nya agar Rasul-Nya tersebut memutuskan hukum di antara kalian, maka mereka berkata: Sami’na Wa Atha’na (Kami telah mendengar hukum tersebut dan kami akan taati). Merekalah orang-orang yang beruntung.” [QS. An Nuur: 51]
Tidaklah apa yang Allah tentukan untuk hamba-Nya, melainkan pasti memiliki hikmah yang besar bagi sang hamba. Namun sang hamba wajib pasrah kepada ketentuan itu, baik TAHU akan hikmahnya, maupun TIDAK TAHU hikmahnya. Kaidah fiqhiyyah mengatakan:
الشَارِعُ لَا يَـأْمُرُ إِلاَّ ِبمَا مَصْلَحَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً وَلاَ يَنْهَى اِلاَّ عَمَّا مَفْسَدَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً
“Islam tidak memerintahkan sesuatu, kecuali mengandung 100% kebaikan, atau kebaikannya lebih dominan. Dan Islam tidak melarang sesuatu, kecuali mengandung 100% keburukan, atau keburukannya lebih dominan.”
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata: “Kaidah ini meliputi seluruh ajaran Islam, TANPA terkecuali. Sama saja, baik hal-hal Ushul (Pokok), maupun Furu’ (Cabang), baik yang berupa hubungan terhadap Allah, maupun terhadap sesama manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar