Perlu diingat bahwa zakat adalah kewajiban yang ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sementara pajak adalah peraturan yang dibebankan negara kepada rakyatnya.
Perincian zakat telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam teknis pelaksanaannya. Demikian juga dalam syariat lainnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskannya.
Karena Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkannya agar menjelaskan isi Al-Qur’an tersebut kepada segenap manusia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
:وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِم
وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ“
Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an,agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (An-Nahl: 44)
Zakat merupakan ibadah yang wajib ditunaikan oleh seorang muslim yang telah terpenuhi persyaratannya. Maka zakat merupakan bentuk amal guna mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Adapun pajak merupakan peraturan negara yang tidak ada kaitannya dengan ibadah dan upaya mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang muslim yang tidak meyakini zakat sebagai kewajiban yang harus ditunaikan, maka dia dihukumi kafir dan murtad dari Islam.
Konsekuensi yang seperti ini tentu tidak akan ada pada seseorang yang menunaikan pajak dan tidak meyakininya sebagai sebuah kewajiban. Ketentuan zakat bersifat universal.
Di negara manapun ketentuan tersebut tetap berlaku selama dia menjadi seorang muslim. Berbeda dengan pajak, masing-masing negara memiliki ketentuan dan undang-undang sendiri. Satu negara dengan negara lain berbeda. Selain itu, zakat adalah kewajiban yang bersifat tetap dan terus-menerus berlangsung.
Kewajiban zakat itu akan tetap berjalan selagi umat Islam ada di muka bumi. Kewajiban zakat tidak akan dihapus oleh siapapun. Tidak berubah-ubah. Berbeda dengan pajak yang bisa dihapus, misal melalui pemutihan, atau berubah menurut kondisi satu negara.Melihat sisi-sisi perbedaan yang mendasar seperti di atas, tentu sangat tidak ilmiah sekali bila zakat disamakan dengan pajak.
Bagi seorang muslim, hendaknya memancangkan segenap pemikiran, perbuatan, dan keyakinannya ke tiang pancang yang kokoh, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, selaras pemahaman salaf ash-shalih.
Demikian pula halnya ketika memahami nash-nash Al-Qur’an, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah para ulama salaf. Mereka adalah orang-orang yang memiliki otoritas untuk membimbing umat sesuai ajaran Islam yang benar yang bisa dipertanggungjawabkan secarailmiah. Kata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma
:مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ“
Barangsiapa berbicara tentang Al
-Qur’an dengan ra’yu (pemikiran logika) nya, maka siapkanlah tempat duduknya di neraka.” (I’lamul Muwaqqi’in, Ibnu Qayyim, hal. 54)
Wallahu a’lam.
Paparan di atas disarikan dari tulisan Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan dalam Tashilul IImam bi Fiqhil Hadits min Bulughil Maram, 3/91-94, dengan beberapa penambahan dari penulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar